Walaaa, suwi gak nulis.. Kangen kalian semua nih *muach muach muach*
Yeah, harap maklum nih gak nge-post lagi sejak September. Wakakakak, luama banget kalau dihitung-hitung. Tapi saya sendiri lho enggak ngerasa lama dan tiba-tiba saja Desember pun datang mengagetkan saya. Dan tiba-tiba saya udah di penghujung semester satu kuliah saya *lho?! Saya udah kuliah ternyata?? Cepet bener…*
Ngomong-ngomong, saya agak sedikit lupa alamat email dan password blog saya *penyakit lama bersemi kembali, PLBK!*
Wah enggak lama-lama deh basa-basinya soalnya ntar juga basi-basi sendiri. Langsung aja yok!

Pressure, itu istilah kerennya. Dalam bahasa Indonesia dan telah mengalami terjemahan melalui Google Translate, pressure bisa berarti tekanan. Dalam fisika, pressure punya satuan yaitu Pa yaitu Pascal. Tapi saat ini saya tidak membahas fisika karena saya kena alergi. Nama latin alergi tersebut adalah maleskuliahfisdasgaragaranilaitengahsemesterdapattigapuluhdelapan. Bisa dibaca? Tentu tidak. Yang bisa membaca hanya orang-orang yang telah dibukakan hatinya, salah satunya adalah dosen fisika dasar saya.
Selama Desember ini, saya termasuk orang yang tak pernah absen dalam menonton timnas sepakbola Indonesia yang berkiprah di Piala AFF. Jujur saja, agak bosen sebenarnya dengan permainan timnas kita. Sudah tahu posturnya pendek, eh malah main bola-bola lambung. Apa enggak blo’on pelatihnya. Tapi, Desember ini, magnet yang menarik saya untuk mau lihat timnas Indonesia bernama naturalisasi. Lho lho lho? Mana ada kaitannya naturalisasi dengan tema kita? Sek ta lah, sabar dikit. Dongengnya belum selesai.
Timnas dirombak, naturalisasi dilegalkan dan diformalkan. Alhasil, nama-nama seperti Christian Gonzales dan Irfan Bachsin *eh, salah.. Bachdim ding :D* otomatis masuk ke tim inti. Pikir saya, mungkin dengan dua nama barusan, timnas enggak main bola-bola lambung tapi main bola-bola usus.
Lima pertandingan dilewati dengan winning streak alias nggak sekalipun kalah. Dan timnas kita pada akhirnya masuk final. Permainan bola-bola lambung pun sedikit diminimalisir, permainan lapangan tengah mendominasi setiap pertandingan timnas. Yah, mirip tiki-taka timnas Spanyol lah, tapi dengan main becakan dikit lah :D
Pada akhirnya, timnas kita, Unyil Usro, bertemu dengan tim Upin Ipin. Wuih, tensi makin memuncak karena kedua kesebelasan bisa dibilang Barca dan El Real nya Asia tenggara. Dan pertandingan keduanya bisa disebut pertandingan El Kopiko.
:)) Pada babak penyisihan grup, timnas Indonesia menang besar 5-1 atas Malaysia. Namun, apa yang terjadi terjadilah, begitu Tante Titiek Puspa menyebutnya, di final leg pertama Indonesia kalah 0-3 dari Upin Ipin yang menggemaskan *bagi sebagian orang*. Padahal sebelumnya, Indonesia diunggulkan bisa mengatasi Malaysia. Malah pemain timnas, saking ngetopnya, masuk acara gosip segala. Itu pun jadi bukti kalau Indonesia benar-benar diunggulkan. Mau bukti lagi? Bursa judi kelas teri di warung yang saya tongkrongi saat pertandingan berlangsung pun lebih menjagokan Indonesia. Apa yang terjadi? Terjadilah… begitu tante Titiek Puspa menyebutnya.
:)) Komposisi pemain? Nggak ada banyak perubahan yang berarti. Mayoritas pemain pada pertandingan tersebut adalah pemain yang juga bermain saat Unyil Usro melibas Upin Ipin di penyisihan grup. Permainan? Nggak ada beda deh permainan timnas kita dengan memperagakan tiki-taka plus main becakan khas Indonesia. Lalu apa? Dingdong! Jawabannya adalah atmosfernya, bung!
Jelas, bukan atmosfer yang ada sangkut pautnya dengan stratosfer, nimbus, altonimbus, dan cicitnya. Atmosfer disini adalah stadion, jumlah pendukung, dan dukungan yang diberikan.
Perlu diingat bahwa di piala AFF tahun ini, Indonesia selalu menang saat main di GBK dan saat dikalahkan Malaysia, Unyil Usro main di kkitang Upin Ipin. Saat melakoni laga di kkitang tim lain, jumlah pendukung tim yang away dalam pertandingan tersebut biasanya lebih sedikit. Dan ini mempengaruhi dukungan para suporter. Nah, dalam sepakbola, ketiga elemen tadi mengalami fusion dan menjadi sebuah momok yang ditakuti para pemain tim yang sedang away: tekanan.
Pernah denger kalimat yang bilang kalau suporter itu pemain kedua belas? Tapi, pernah denger kalimat yang bilang kalau tekanan adalah pemain ketiga belas? Lho, jangan main-main ini. Tiga belas saja sudah jadi angka sial yang lazim di peradaban manusia, apalagi tekanan itu sendiri. Bisa dibayangkan, berapa Pascal yang harus diterima pemain kesebelasan Indonesia saat final leg pertama yang berakhir kekalahan telak itu.
Moral permainan dan tekanan berbanding terbalik *sok ahli fisika, dikit-dikit boleh laah*. Jika tekanan semakin besar, maka moral permainan akan turun. Alhasil, permainan sepakbola tim yang moralnya turun seperti kerupuk bantet. Nggak berkembang.
Dalam permainan penuh tekanan, dua tim akan melakoni dua peran yang berbeda. Satu tim dengan moral yang turun akibat tekanan jadi pihak yang tertekan selama pertandingan. Sementara tim yang diatas angin, biasanya tim yang home jadi pihak yang menekan karena memiliki keuntungan main di kkitang sendiri yang otomatis mempengaruhi jumlah suporter sendiri yang berpengaruh pada dukungan yang diberikan yang ujung-ujungnya menghasilkan tekanan bagi tim lawan. Sederhananya, ada yang diatas dan ada yang diatas. Wew, ilmiah sekali penjelasannya. Hehehe.
Dalam kehidupan sehari-hari, sering kali tekanan mengakibatkan masalah. Diantara masalah-masalah itu adalah:
1.Menutup otak untuk melihat hal lain di luar tekanan. Sama halnya dalam permainan Unyil Usro saat kalah oleh Upin Ipin. Permainan jadi bantet dan tak berkembang sama sekali. Setiap pemain Indonesia sering menggiring bola sendiri tanpa memperhatikan kawan yang sedang kosong dan sering melakukan tendangan spekulasi. Visi permainan kabur atau bahkan tak ada. Permainan jadi membosankan dan suporter jadi lesu dan tak ada tekanan yang dihasilkan dari tribun untuk tim Malaysia. Akhir kata, Indonesia makin tertekan.
2.Mempengaruhi pengambilan keputusan yang salah. Karena tak bisa melihat hal lain di luar tekanan, sering kali keputusan individu yang dalam tekanan terlihat konyol *goblok, istilah kerennya* yang pada akhirnya merugikan diri sendiri. Contoh realistisnya adalah saat blunder bek Indonesia yang berniat membiarkan bola out agar menghasilkan tendangan gawang. Eh, dicolong salah satu pemain Malaysia dan sukses dikonversikan jadi gol pembuka kemenangan Upin Ipin.
3.Sikap cenderung labil, eksplosif, dan pesimis. Pernah tahu Jack The Ripper di novel Sherlock Holmes, Joker di film Batman, dan Omoi di komik Naruto? Ketiganya mewakili masing-masing ketiga sifat tersebut. JTR labil karena tekanan nafsu membunuhnya terhadap pelacur. Joker eksplosif sebagai pelarian dari tekanan traumatis masa kecil. Dan Omoi pesimis karena tekanan kegelisahan yang dirasakannya begitu besar saat Perang Dunia Ninja ke-4 baru dimulai. Contoh lagi di lapangan hijau, pemain Indonesia banyak melakukan pelanggaran saat sudah tertinggal tiga gol sebagai bentuk kegagalan mereka mengatasi tekanan. Bukannya menekan, tapi justru semakin ditekan.
Lalu bagaimana cara keluar dari tekanan permainan lawan? Jawabannya simpel. Bahkan anak TK sekaliber Upin Ipin pun bisa menjawabnya. Dingdong! Jawabannya adalah: menekan balik, bung!
Memang diakui sangat sulit membalikkan keadaan dari yang tertekan menjadi yang menekan. Tapi bagaimanapun, kalau tak dicoba tak akan mengubah keadaan. It’s worthy to try. Dalam permainan sepakbola, tendangan-tendangan yang langsung mengarah ke gawang, si kiper mengulur-ulur waktu, dominasi lapangan tengah dan permainan skill individu merupakan salah satu dari sekian banyak cara untuk menekan balik lawan yang menekan kita.
Di kehidupan nyata kita sebagai manusia, pressure atau tekanan tak bisa dihindarkan. Istilah kerennya sih inevitable. Tapi merunut pada kalimat yang barusan saya ciptakan *bener-bener barusan, sekitar lima detik yang lalu saat menulis paragraf ini*: It may inevitable, but it’s not invincible.
Begitulah tekanan, memang tak bisa dihindarkan tapi juga bukan tak mungkin untuk diselesaikan. Banyak cara dalam kehidupan nyata untuk mengatasi dan menekan balik tekanan tersebut:

1.Menarik diri dari hingar bingar tekanan dan memikirkan solusi untuk keluar darinya dengan kepala yang jernih. Tahu kan hewan kura-kura? Nah, saat dia berada dalam bahaya, ia akan menarik kepala dan kakinya ke dalam tempurungnya. Saat keadaan dirasa aman, barulah ia mengeluarkan kepala dan kakinya. Tapi, kita adalah manusia bukan kura-kura. Kita tak bisa menarik diri dan menunggu tekanan itu hilang begitu saja. Saat kita menarik diri dari tekanan itulah kita bisa memikirkan jalan keluar untuk mengatasi tekanan tanpa ada intervensi dari tekanan itu sendiri. Tapi jangan lama-lama menarik diri, ntar ketiduran soalnya memikirkan solusi itu bikin ngantuk. Haha.
:)) 2.Semakin memantapkan tekad awal. Sebelum kita terjun ke sebuah pilihan dalam hidup kita, tentu saja kita punya tekad untuk memilih hal tersebut sebagai jalan hidup kita. Apapun resikonya, apapun hambatannya, dan apapun tekanannya. Itulah tekad. Lihat saja bola karet. Semakin ditekan, ia semakin memampat dan kalau tekanan sudah sedikit berkurang, ia justru menekan balik dan kembali ke bentuk semula. Saat kita ditekan, kita seharusnya memantapkan tekad, memadatkannya bulat-bulat, dan yakin atas segala apapun yang terjadi ke depannya entah itu baik atau buruk. Automatically, kita akan kembali ke bentuk semula *lho? Kok seperti iklan pembalut??*
3.Kalau kita benar-benar tak bisa mengatasi tekanan ini, maka yang perlu kita lakukan adalah minta bantuan. Ya, minta bantuan. Tak ada salahnya kan. Bisa kepada orangtua, saudara, teman, pacar, atau dukun sekalipun tak masalah. Karena bisa saja orang-orang yang tak merasakan tekanan yang kita rasakan memiliki pandangan dan solusi yang berbeda dari yang kita pikirkan. Saat kita berada dalam tekanan, pura-puranya mata dan hati kita tertutupi kacamata kuda. Dan butuh tuntunan dari orang lain untuk sampai ke tujuan. Kadangkala, cara inilah yang paling berhasil dilakukan manusia untuk menghadapi tekanan. Jadi, keep your eyes open, untuk tetap mengetahui orang-orang yang terdekat kita yang saat kita berada dalam tekanan nantinya, kita bisa meminta bantuan pada mereka.
4.The God is always almighty. Tuhan selalu ada, tidak tidur di ranjang spring bed, tidak makan paket hemat di McD, atau bahkan tidak pergi ke toilet saat kita dirundung masalah. Tak peduli seberapa besar tekanan yang kita hadapi, akan terlihat kecil dan tak ada apa-apanya di mata Tuhan Yang Maha Kuasa. Toh, tekanan juga asalnya dari Tuhan. Jadi, tak ada masalah kan jika kita komplain dan menyerahkan sepenuhnya pada Yang Memberi Tekanan untuk memberi kita jalan keluar. Saya ingat kalimat yang selalu disuarakan di sinetron-sinetron penuh intrik dan problema: Tuhan tidak akan memberikan cobaan di luar kemampuan kita untuk menanggungnya, nak… hiks hiks.. *ujar seorang ibu tua pada anak tiri yang sebenarnya gadis dari keluarga kaya*

Sembilan puluh menit plus injury time sudah terlewati. Kekalahan 0-3 tak bisa dihindari. Tak perlu sedu sedan dan meratapi. Ini memang wajar bila tim away memainkan sepakbola bantet akibat gagal menghadapi tekanan dari pendukung tim lawan di kandangnya. Tak perlu memandang yang sudah terjadi, itulah mengapa kaca spion di mobil selalu dibuat lebih kecil daripada kaca depan yang begitu besar. Agar kita selalu melihat ke depan. Tekanan yang gagal diatasi tak boleh terjadi lagi. Tekanan yang selanjutnya harus bisa diatasi. Di GBK, mari telanjangi Upin Ipin dan mengangkat trofi setelah timnas sepakbola kita dehidrasi gelar selama… selama berapa ya? Lama deh pokoknya, hehe.
Semoga menang…
Kalau tidak, bisa-bisa kalah taruhan lagi T.T *hiks*
